Friday, 9 August 2013

Ibu..hanya Ibu

     Berbakti kepada Ibu adalah amalan yang mulia bagi seorang anak. Berbakti kepada ibu di sini disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai 3 kali, baru kemudian berbakti pada ayah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ أَبُوكَ »

Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu.’ Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

     Mengapa sampai berbakti pada Ibu disebutkan sampai 3 kali? Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berbuat baik kepada kerabat dan ibu lebih utama dalam hal ini, kemudian setelah itu adalah ayah, kemudian setelah itu adalah anggota kerabat yang lainnya. Para ulama mengatakan bahwa ibu lebih diutamakan karena keletihan yang dia alami, curahan perhatiannya pada anak-anaknya, dan pengabdiannya. Terutama lagi ketika dia hamil, melahirkan (proses bersalin), ketika menyusui, dan juga tatkala mendidik anak-anaknya sampai dewasa.” (Syarh Muslim, 8: 331)

     Sebagian orang menyatakan wujud cintanya pada Ibu secara ceremonial hanya pada tanggal 22 Desember (dalam peringatan hari Ibu). Namun kalau kami sebagai umat Islam, mengagungkan Ibu setiap saat, bahkan sampai pun ia telah meninggal, kami pun akan terus mendo’akannya. Dalam Islam berbakti pada Ibu itu wajib, bahkan disebut berulang sampai 3 kali, baru kewajiban berbakti pada ayah.

     Syaikh Sholih Al Fauzan berkata, "Peringatan hari ibu hanyalah membuang-buang waktu dan harta, dan hanya menghidupkan amalan yang tidak dianjurkan dalam Islam. Ini semua hanya akan membuat umat Islam berpaling dari ajaran Islam yang dituntunkan." (Sumber: http://www.saaid.net/mktarat/aayadalkoffar/37.htm)

     Semoga Allah memudahkan kita menjadi anak yang berbakti pada orang tua, terutama pada ibu kita. Wallahu waliyyut taufiq.

Friday, 2 August 2013

Ibnu Saad meriwayatkan bahwa Sufyan bin Abi Auja berkata bahwa suatu kali Umar Ra berkata, ” Demi Allah, Aku tidak tahu apakah aku ini khalifah atau Raja? Seandainya aku seorang raja, maka itu merupakan sesuatu yang hebat!”

Lalu seseorang berkata,”Wahai Amirul Mukminin, ada perbedaan antara khalifah dan raja. Khalifah hanya mengambil berdasarkan yang hak dan meletakkannya pada yang hak. Alhamdulillah, engkau demikianlah adanya. Sementara raja bertindak semena mena terhadap orang orang, merampas harta dari si fulan dan menyerahkan ke si fulan lainnya semaunya,” setelah mendengar itu Umar terdiam.
Umar Ra bertanya kepada Salman Ra, ” Apakah aku ini seorang raja atau khalifah?”

Salman menjawab,” Jika engkau memungut pajak dari hasil bumi kaum muslimin senilai satu dirham saja atau kurang dari itu atau lebih, kemudian engkau peruntukkan pada yang bukan haknya, maka engkau adalah seorang raja, dan bukan khalifah.

Rasulullah SAW telah meletakkan kepada manusia, sesuai perintah Allah SWT, mengenai syariat dalam perkara harta benda, mustahil ditemui lebih adil dari sistem Islam. Dengan berdasarkan kepada syariat Islam, maka harta benda seseorang tidak akan dipungut Negara kecuali dengan jalan yang adil, dan seseorang pun akan memiliki sesuatu harta benda dengan cara yang hak dan adil pula.

Sebelum muncul syariat ini, didunia tidak pernah muncul satu teori pun yang adil dan relevan untuk mengatur perkara hak milik ini, tidak satupun dijumpai teori hukum yang adil pula mengenai perpajakan.

Ketahuilah moto para pemerintah sebelum Islam (Jahiliyah) adalah Pajak, sementara moto pemerintahan Islam adalah Hidayah berupa optimalisasi zakat.

Dr Alfred J Butler menulis tentang pemerintahan Romawi di Mesir, ” Pemerintahan Romawi di Mesir tidak punya sasaran lain kecuali merampas harta benda milik rakyat untuk disajikan kepada penguasa sebagai harta rampasan. Tidak pernah terlintas dalam benak mereka untuk menjadikan pemerintahan sebagai sarana mewujudkan kemakmuran rakyat, meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, mendidik SDM nya atau memperbaiki urusan sumber sumber rezeki mereka. Corak pemerintahan orang orang asing yang hanya mengandalkan kekerasan dan tidak pernah mengenal rasa belas kasihan kepada rakyat yang dipimpinnya.”

Beliau juga menulis tentang kondisi Persia selama dibawah dinasti Sassania, Para pemungut pajak itu tidak jauh dari tipu daya dan merampas harta benda rakyat dalam menaksir pajak pajak yang harus ditunaikan. Apa yang pernah dilakukan Kisra Anussyirwan dalam merenovasi sistem keuangan pada zamannya, lebih menguntungkan kepentingan keuangan istana daripada kepentingan rakyatnya. Rakyat jelata masih terus hidup dalam kebodohan dan kemelaratan seperti sebelumnya. Terlebih lagi kaum petani yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang kelewat batas. Para petani tidak diizinkan pindah dari ladang ladang kaum bangsawan, dipekerjakan dengan kecil, serta dibebani semua pekerjaan berat.

Begitulah bila pajak diberlakukan untuk kaum Muslimin, sebagai salah satu indikasi dan memperjelas bahwa siapakah pemimpin itu adalah berperan sebagai Khalifah Allah atau hanyalah seorang raja, seperti raja raja yang telah berlalu tanpa memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. —- Said Hawwa, Ar Rasul
[www.globalmuslim.web.id]